Kidigo - Penjaga Ladang Langit
Prolog: Angin dari Dua Daratan
Di
ujung timur Pulau Jawa, di antara hembusan angin selatan dan desir ombak
yang menghantam pantai-pantai Banyuwangi, lahirlah seorang anak lelaki
dari keluarga sederhana. Ia bukan keturunan raja, bukan pula anak orang
ternama. Namun darah dalam tubuhnya mengalir dari dua daratan agung:
Sumatra dan Jawa.
Ayahnya berasal dari
Kota Batusangkar, tanah Minangkabau yang terkenal dengan adat dan
keberaniannya. Ibunya berasal dari Semarang, kota tua yang menyimpan
kelembutan dan kearifan. Anak itu mewarisi dua karakter: keteguhan dan
kesabaran.
Namanya: Kidigo.
Ia
tidak dilahirkan untuk menjadi bintang panggung. Tapi ia ditakdirkan
menjadi pelita kecil yang akan menyala di ladang-ladang gelap.
Bab 1: Anak dari Banyuwangi, Darah dari Dua Arah
Masa
kecil Kidigo dihabiskan di antara aroma tanah basah dan suara kokok
ayam. Ia bukan hanya melihat dunia, tapi mendengarkannya. Ia tahu kapan
langit akan hujan dari arah angin, tahu kapan ayam akan bertelur dari
gerakannya.
Ia tumbuh sebagai anak desa yang
penuh rasa ingin tahu. Di balik sikap diamnya, matanya tajam mengamati
kehidupan. Ia belajar dari tanah, dari hewan, dari pohon, bahkan dari
kesunyian.
Warisan dari ayahnya memberi semangat juang. Dari ibunya, ia belajar bahwa ketulusan adalah kekuatan terbesar seorang manusia.
Bab 2: Awan yang Menggoda Kota
Ketika
dewasa, Kidigo melanjutkan studi di bidang sistem komputer. Ia
menjelajahi dunia logika, bahasa mesin, dan algoritma. Kota membukakan
banyak pintu—gaji besar, karier cemerlang, kehidupan modern.
Tapi
semakin tinggi ia mendaki, semakin ia merasa terputus dari akarnya.
Dunia kota seperti langit palsu. Ia merasa kehilangan suara jangkrik,
lupa aroma dedaunan, dan jiwanya mulai layu.
Dalam sunyi malam yang panjang, ia mulai mendengar panggilan yang telah lama ia abaikan:
"Pulanglah... tanahmu merindukanmu."
Bab 3: Kepulangan yang Bukan Kekalahan
Kidigo
pulang. Bukan karena menyerah, tapi karena sadar: kemenangan sejati
bukan tentang siapa yang paling jauh pergi, tapi siapa yang paling dalam
mengakar.
Keluarga menyambutnya hangat, meski
beberapa bertanya-tanya, mengapa anak sepintar itu memilih jalan sunyi?
Ia menjawab dengan senyum:
"Aku tidak kembali untuk mundur, aku kembali untuk menanam masa depan."
Ia membuka lahan. Mula-mula kecil, seadanya. Tapi di setiap lubang tanam, ia menanam mimpi. Bukan hanya panen... tapi perubahan.
Bab 4: Terracing Farm dan Janji Tanah
Dari
lereng dan dataran yang dulu dianggap tak bernilai, Kidigo mendirikan
Terracing Farm. Bukan sekadar ladang, tapi medan perjuangan. Setiap
baris tanaman bukan hanya untuk dijual, tapi untuk diuji oleh alam dan
oleh waktu.
Ia mulai dari jahe, kunyit, kopi,
alpukat, dan ayam kampung. Ia tak hanya menanam, tapi merawat. Ia
menciptakan sistem pakan fermentasi alami, meracik resep herbal, dan
mencatat semua itu seperti ilmuwan.
Bab 5: Pertarungan Tanpa Sorotan
Namun
tanah bukan hanya memberi. Ia juga menguji. Musim kering panjang,
penyakit unggas, harga pasar yang menukik, dan ejekan dari orang-orang
yang tak mengerti mimpi seorang petani muda.
Kidigo sempat hampir menyerah. Tapi ia teringat akan akar.
"Aku bukan tumbuhan pot. Aku pohon. Dan pohon tidak kabur saat badai."
Ia
bangkit. Ia belajar fermentasi lanjutan, memproses pakan agar tahan
lama, menyusun CRM untuk pelanggan, bahkan belajar desain label sendiri.
Bab 6: Menanam di Atas Garis Takdir
Kini,
pertaniannya bukan lagi sekadar tempat tanam. Tapi tempat belajar.
Tempat regenerasi. Tempat anak-anak muda melihat harapan.
Kidigo
mulai merancang ekspor, membuat produk seperti kopi jahe botolan,
minuman fermentasi biji alpukat, dan membangun narasi produk dengan
edukasi.
Terracing Farm menjelma menjadi
simbol: bahwa dari tanah sederhana, bisa lahir gerakan besar. Asal ada
niat, ilmu, dan cinta yang tak pernah putus.
Bab 7: Rakyat Ladang Masa Depan
Di
balik keheningan ladang dan kokok ayam pagi, Kidigo menatap anak-anak
muda desanya. Banyak dari mereka ingin pergi ke kota, bekerja di tempat
yang katanya lebih bergengsi. Tapi Kidigo punya mimpi lain.
Ia
ingin membangun generasi petani baru—bukan hanya bisa cangkul dan
sabit, tapi juga bisa membaca pasar, memformulasi produk, membangun
merek, dan memahami dunia digital.
Ia membuka
pelatihan, membuka pintu ladangnya untuk siapa saja yang mau belajar. Ia
percaya: kemajuan pertanian tidak hanya soal teknologi, tapi tentang
siapa yang mewarisinya.
"Aku tidak sedang menanam tanaman... aku sedang menanam para penjaga masa depan."
Bab 8: Bisikan Pasar Dunia, Hati yang Tetap di Desa
Produk-produk
dari Terracing Farm mulai mencuri perhatian. Dari kopi jahe hingga
minuman fermentasi, dari pakan ayam hingga label edukatif—semuanya
membawa pesan: ini buatan tangan anak desa.
Penawaran datang, ajakan kerjasama berdatangan. Tapi Kidigo tidak silau. Ia tahu betul:
"Yang lahir dari tanah harus tetap berpijak, meski dipanggil langit."
Ia
menerima kesempatan ekspansi, tapi tidak meninggalkan akar. Ia tetap di
Banyuwangi, di tengah tanahnya, bersama ayam-ayam dan anak-anak muda
yang masih ingin tumbuh.
Bab 9: Dari Pakan Hingga Peradaban
Apa yang dimulai dari fermentasi pakan ayam, kini berubah menjadi fermentasi budaya.
Kidigo
membangun pola pikir baru: bahwa pertanian bukan sektor rendah, tapi
fondasi peradaban. Ia menanam kesadaran, bahwa makan itu politik, bahwa
minum itu pilihan sadar, bahwa hidup selaras dengan tanah adalah
keputusan paling waras.
Setiap produk yang ia kirim keluar bukan sekadar barang. Tapi pesan:
"Kami masih menanam. Dan dari ladang kami, dunia bisa disembuhkan."
Bab 10: Ladang-Ladang yang Menulis Sejarah
Kini,
Terracing Farm bukan lagi satu titik di peta. Ia menjadi inspirasi.
Anak-anak muda dari berbagai pelosok datang belajar. Petani-petani tua
mulai mencoba cara baru.
Kidigo tidak mengejar sejarah. Tapi sejarah diam-diam mulai mencatat namanya.
Ia tidak berdiri di istana. Tapi di batas pagar kayu ladangnya, dengan matahari di atas dan tanah di bawah, ia berdiri tegap: Penjaga Ladang Langit.
Epilog: Dunia yang Akan Tumbuh dari Tanganmu
Kidigo tahu hidupnya belum selesai. Masih banyak musim yang akan datang. Tapi satu hal pasti:
Ia telah memilih jalan yang tidak biasa. Jalan sunyi. Jalan sepi. Tapi juga jalan yang penuh makna.
"Kita tidak perlu jadi raja untuk mengubah dunia. Kadang, cukup jadi petani yang setia pada ladangnya."
Dan dari ladang kecil di Banyuwangi, sebuah dunia baru sedang tumbuh. Perlahan. Tapi pasti.
Akhir dari Buku Pertama. Tapi Awal dari Kehidupan Sejati.

